Wayang kulit adalah
seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal
dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan
Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang
bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton
wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan
oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan
diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang
dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir,
yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan
lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada
di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Wayang kulit
pernah mengalami masa kejayaan dimasa lampau, bahkan pada masa penyebaran agama
Islam di pulau Jawa, para wali menggunakan cerita dan pertunjukan wayang kulit
yang telah disisipi oleh ajaran-ajaran dan kaidah-kaidah Islam sebagai media
penyebaran agama Islam, hal ini dapat terwujud karena cerita-cerita wayang
memiliki cerita yang menggambarkan tentang kehidupan manusia yang mengajarkan
pada kita untuk menjalani hidup pada jalan yang benar, dimana dalam hal ini
agama Islam juga mengajarkan hal yang sama sehingga mudah bagi para wali untuk
memasukkan ajaran Islam ke dalam cerita wayang (Winoto, 2006). Metode tersebut
terbukti cukup berhasil, karena pada zaman itu, pertunjukan wayang kulit
merupakan sarana hiburan bagi rakyat yang dapat merangkul masyarakat luas.
Dalam perkembangannya pagelaran wayang kulit mengalami banyak penurunan dalam
peminatannya. Penurunan peminatan ini dapat disebabkan oleh ketidaktahuan
masayarakat akan jalan cerita dan karakter tokoh-tokoh siapa saja yang berperan
dalam cerita pagelaran wayang tersebut.
Secara umum
wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak
dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan
lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam cerita wayang, baik menurut babon Ramayana atau
Mahabharata maupun cerita dalam lakon pedhalangan. Cuplikan cerita hanya
merekomendasi sebagian tata nilai dari kompleksitas nilai budaya yang pernah
berkembang pada masyarakat Jawa Kuno.
Cerita
perwayangan bisa dijadikan pendidikan. Karena itu, dapat digunakan sebagai
salah satu media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau sikap seseorang
dalam rangka mendewasakan manusia. Cerita wayang bukan saja merupakan salah
satu sumber pencarian nilai-nilai bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun
juga sebagai wahana atau alat pendidikan. Karena cerita wayang merupakan wahana
atau alat pendidikan, wayang merupakan wahana bagi proses sosialisasi ataupun
enkulturasi. Bahkan dengan proses sosialisasi, wayang mengemban fungsi edukatif
mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu memainkan peran-peran sosial sesuai
dengan pilihan hidupnya, dengan jalan mengembangkan sikap mental, menanamkan
nilai-nilai dan kemampuan mengendalikan diri, dan memberikan orientasi
pemahaman. Dalam perwayangan Banyak lakon yang mengandung nilai etika atau
moral, seperti lakon Dewa Ruci tentang keteguhan hati seseorang, lakon Bale
Sigala-gala tentang kuasa Tuhan yang menyelamatkan hambanya yang teraniaya.
.
Kehadiran
wayang tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi. Sebab, di samping isinya
menggambarkan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam rangka
interaksi antar umat manusia, juga mengemban fungsi sebagai media komunikasi,
yakni menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan, utamanya yang berhubungan
dengan bidang etik. Cerita atau lakon dalam perwayangan Banyak lakon yang
mengandung nilai etika atau moral, seperti lakon Dewa Ruci tentang
keteguhan hati seseorang, lakon Bale Sigala-gala tentang kuasa Tuhan
yang menyelamatkan hambanya yang teraniaya.
Dengan
menikmati wayang, orang akan memperoleh nilai-nilai filosofi yang terkandung di
dalamnya, di samping nilai-nilai etika atau budi pekerti dan nilai estetika
yang tinggi. Wajarlah jika seni dan budaya wayang kulit dari Indonesia ini
dinobatkan sebagai karya adi luhung lisan warisan kemanusiaan yang tak dapat
dinilai ketinggiannya. Dalam ikut membangun peradaban modern seperti sekarang
ini, kiranya nilai-nilai yang terkandung dalam wayang masih relevan untuk
dikembangkan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar